[INFO BUKU]
Judul: Bilangan Fu
Pengarang: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Hlm: 573
[RESENSI]
Buku ini merupakan karya terbaru dari Ayu Utami, yang baru keluar bulan Juni-Juli kemarin, diterbitkan oleh Gramedia... Sebenarnya tadinya saya ragu mau menawarkan buku ini, tapi karena ada beberapa hal yang menurut saya mendesak untuk disampaikan, akhirnya saya beranikan untuk menawarkan buku ini. Untuk teman-teman yang pernah atau malah mengikuti karya-karya Ayu Utami, pasti cukup terpuaskan dengan sajian Ayu kali ini. Salah satu syarat untuk membaca karya-karya Ayu adalah pikiran yang terbuka, dan khusus untuk Bilangan Fu ini juga perlu tambahan stamina untuk menyelesaikannya (ya gak Irin...)
Bilangan Fu disebut oleh Ayu sebagai "spiritual kritis", buku ini memecahkan rekor baca terlama saya (hampir 3 minggu) karena selain topiknya tidak mudah, pelu waktu juga memang untuk mengendapkan apa yang sudah dibaca sebelumnya. Pada intinya buku ini mengkritik 3M: Modenisme, Monoteisme dan Militerisme. Dari ketiga hal yang saling mengait tersebut, saya hendak menyorot pada isu pelestarian lingkungan yang rasanya merupakan ruh utama buku tersebut.
Pada liburan lebaran kemarin, kami sekeluarga menginap di Dumai, untuk sedikit menjelajahi kota tersebut, selain tertarik sama pelelangan ikan laut yang jam 3 pagi, juga ada hutan lindung wisata di dekat camp Chevron yang ingin anak-anak kunjungi... Di daerah pantai ternyata lumayan penuh sampah plastik, botol, bungkus2 segala macam, dan yang pertama anak saya tanya: buang sampah itu di laut ya...?
Kedua hutan lindung wisata... masih cukup menyenangkan walaupun amat sangat kecil dan terbatas, ada jalan setapak yang lagi-lagi dipenuhi...sampah... Kami kebetulan cukup hobi fotografi jadi masih ada dokumentasi 10 tahun yang lalu waktu saya baru datang ke Duri. Dulu dalam perjalanan ke Dumai, kita bisa melihat garis hutan yang tidak terlalu jauh dari jalan raya... dan bersama waktu garis tersebut menjauh, menipis sampai sekarang sudah tidak ada sama sekali rasanya...
Kenapa gajah sekarang sering sekali melintas camp, karena mereka memang sudah tidak punya rumah sama sekali. Daerah hutan kecil yang hanya selapis bersebelahan dengan kompleks Talang sebenarnya termasuk daerah hutan konservasi Balai Raja, yang tinggal selapis karena dibelakangnya sudah jadi kelapa sawit semua...(laporan pandangan mata yg naik helikopter). Daerah tersebut pernah diminta sama Chevron untuk dieksplorasi dan tidak pernah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat karena merupakan hutan konservasi yang sekarang menjadi hutan kelapa sawit sejauh mata memandang...
Buat saya menebang pohon besar seperti melakukan pembunuhan... berapa lama dia tumbuh untuk menjadi besar, dan berapa menit untuk memotong habis hidupnya....
Waduuhhh panjang banget ya..? maap banget...tapi saya betul2 dalam keadaan marah dan frustasi... dan rasanya gak berdaya...(ini yang paling bikin marah) apa kita bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan rumah kita sendiri dari kehancuran? yuk kita rembukkan di klub baca buku...
[DISKUSI]
Tanggal kumpul: 15 October 2008
Tempat: Library Chevron Duri
Kutu-kutu buku: Sylvi, Retno, Jane Kurnadi
Waktu kemarin masuk ke perpustakaan, sama seperti Silvi saya juga terkejut karena rak-rak buku sudah kosong dan ternyata perpustakaan kita akan dipindah..."mungkin ke barber shop..." dan kapan tepatnya akan pindah para petugas juga kurang tahu...
Rasa sedih dan prihatin ini tentu tidak akan muncul kalau ceritanya, akan dibangun perpustakaan yang jauh lebih besar dengan fasilitas modern, ruang baca yang nyaman dan koleksi buku yang diperbaharui...
Masalahnya kesan ini tidak ada, justru yang ada kesan bahwa perpustakaan ini memang kalah dengan kepentingan akan hiburan lain...hadirnya "cafe" atau warung kopi (kale yaaa...)
Tapi ini memang cermin nyata kondisi kita, perut lebih penting dari otak... makanan fisik lebih menarik daripada makanan otak... bisa dilihat dari kondisi semua museum dan perpustakaan nasional di Indonesia..
Diskusi kemarin dihangatkan Silvi dan Retno (selamat datang!) yang sempat mampir sebentar...
Biarpun cuma berdua, tapi ternyata diskusinya seru juga...
Pada masa sekarang ini, terasa sekali kalau kekuasaan dan modernisasi justru lebih banyak membawa kehancuran dan kerusakan daripada kebaikan. Kalaupun ada kebaikan atau keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir orang, dan tidak sebanding dengan kerusakan yang diakibatkan sampai ke anak cucu..
Kasus paling jelas di depan mata ya habisnya hutan alam di Riau..
Bagaimana agama (semangat monoteisme) justru membantu pengrusakkan tersebut? Dari diskusi kemarin kami sepakat bahwa seharusnya agama itu dikembalikan ke dalam diri dan hati masing-masing. Tidak ada kebenaran mutlak dan absolut. Karena itu tidak pada tempatnya memaksakan satu kebenaran yang diyakini kepada orang lain. Silvi memberi poin yang sangat tepat, bahwa pada dasarnya kita percaya bahwa manusia (sejahat atau sebejat apapun) punya "hati nurani" atau insting yang bisa membedakan sesuatu yang benar dan salah...terlepas dari agama/ kepercayaan apapun yang dianut. Keyakinan akan kebenaran sendiri justru bisa melahirkan semangat premanisme terhadap pihak yang dianggap salah/ tidak sesuai..
Contoh yang diusung pada Bilangan Fu adalah agama/ kepercayaan asli/ lokal yang misalnya menghormati gunung, bukit, hutan/ pohon besar. Oleh semangat modernisasi hal2 seperti itu dianggap bodoh, tahayul dan oleh golongan agama tertentu dianggap berhala, musyrik, menduakan Allah dll. Padahal dengan semangat "animisme" dan "dinamisme" tersebut hutan dan alam terlindungi karena dianggap sakral dan penggunaanya dilakukan dengan secukupnya dan tahu diri. Ada kepercayaan tertentu yang melarang penebangan pohon karena nanti "penunggunya" marah, karena itu untuk kayu bakar boleh mengambil ranting-ranting yang jatuh dan daun-daun kering. Dengan semangat monoteisme ini, seluruh alam semesta kehilangan "kekuatannya" dan boleh ditaklukkan... bergabung dengan "kekuasaan", alam tidak lagi terlidungi dan hasilnya bisa kita lihat dan alami sendiri...
Sungguh sayang bahwa semangat "beragama" seringkali hanya menjadi "baju" luar untuk diterima dalam satu komunitas dan memudahkan hidup. Bila semangat ini datang dari dalam dan memancar keluar tentu akan lain ceritanya... Kemarin malam kebetulan saya dengar sedikit hasil sadapan telepon (dari metro TV)seorang Kajari yang meminta "upeti" kepada Bupati. Beliau sangat marah karena dijanjikan 50jt, ternyata hanya dapat 20jt dan tidak mau diterima... Beliau menyebut tidak takut pada siapapun bahkan kalau dilaporkan ke presiden dia juga tidak takut..."Saya ini cuma takut sama Tuhan..." ironis sekali bukan....
Isu lingkungan ini lain kali akan saya bawa lagi kalau pesertanya lebih rame... kalau kita tidak menyelamatkan hari esok mulai sekarang, kita bakal menyulitkan anak cucu kita sendiri... (nenek kaliiii)